Wartaakuntan.id—Belakang, kalangan pemerhati dan pelaku Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia menyoroti pengangkatan Kepala BPKP menjadi Komisaris di PLN. Muhammad Yusuf Ateh, yang notabene sebagai Kepala BPKP diangkat menjadi Komisaris di PLN, menuai kritikan tajam. Itu bermula dari hasil rapat pemegang saham (RUPS) PT PLN, 23 September lalu, dimana Menteri BUMN Erick Tohir menunjuk Muhammad Yusuf Ateh menjadi Komisaris PLN.
Pengangkatan itu, dinilai memporakporandakan sendi-sendi GCG yang susah payah dibangun dan terapkan di kalangan usaha di Indonesia, termasuk praktik GCG di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengangkatan Muhammad Yusuf Ateh, menyalahi aturan praktik GCG, sebagai Kepala BPKP yang notabnene sebagai eksternal auditor PLN, merangkap sebagai komisaris di perusahaan yang diaudit (PLN).
Meski pengangkatan sebagai komisaris PLN tidak melanggar UU yang ada (UU BUMN), namun bisa menimbulkan conflict of interest, penyalahgunaan wewenang. Sebagai auditor, yang juga menjabat di perusahaan auditee. Perangkapan jabatan itu sedianya di hindari, atau si-empunya harus memilih—tetap menjadi Kepala BPKP atau memilih menjadi komisaris PLN. Double fungsi itu yang berpotensi menimbulkan conflict of interest di PLN harus dihindari, tidak bisa dua-duanya di jalankan.
Ikatan Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI), sebagai organisasi para akuntan yang berpraktik di perusahaan turut prehatin akan pengangkatan Kepala BPKP menjadi salah satu komisaris di PLN. Ketua Bidang Anggota, Advokasi, Etika dan Disiplin Anggota, Adji Suratman menilai baik Kepala dan atau pejabat BPKP sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dilarang merangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN/D termasuk pejabat BPK. “Sebaiknya pengangkatan Kepala BPKP sebagai Komisaris di PLN dibatalkan dan di ganti dengan yang lain,” terang Adji Suratman.
Lebih lanjut Adji Suratman beralasan itu jelas melanggar prinsip-prinsip GCG yang susah payak di bangun di BUMN selama ini. Semua pejabat BPKP dan BPK tidak boleh menjabat sebagai komisaris di BUMN yang diauditnya, karena badan usaha itu menjadi objek pemeriksaan (auditee). “Perangkapan fungsi itu yang melanggar prinsip GCG itu berakibat korupsi di BUMN/D bisa jalan terus dan semakin masif,” terang Adji khawatir.
Untuk itu, Adji Suratman menegaskan pejabat publik yang memiliki fungsi pengawasan (seperti BPK, DPR, BPKP, Irjen, inspektorat atau peran APIP lainnya) tidak etis dan tidak elok menjadi Dewan Komisaris baik di BUMN/D. “Itu Namanya perangkapan fungsi, bila dilanggar berarti GCG tidak bisa dijalankan dan KKN di BUMN/D akan jalan terus dan korupsi semakin masif,” terang Adji.
Adji menambahkan disatu fungsi BPKP lembaga yang melakukan audit di PLN, di lain sisi kepala BPKP menjabat sebagai salah satu komisaris. Ini jelas menimbulkan conflict of interest bagaimana BPKP bisa melakukan pengawasan dengan baik. Bila hasil audit BPKP menemukan adanya pelanggaran atau kejanggalan pengelolaan keuangan atau bisnis di PLN bisa jadi tidak ada tindak lanjutnya. Hasil temuan audit yang di lakukan BPKP, yang sedianya menjadi bahan audit BPK, menjadi hilang esensinya.
Semua pihak tahu, pejabat di PLN belakang banyak yang tersangkut hasil audit BPKP, seperti direktur utamanya berujung ke persoalan dugaan praktik korupsi. Kalau perangkapan jabatan memicu penyalahgunaan kewenangan dalam proses audit PLN, hasil audit BPKP bisa jadi kabur, terang Adji. Tidak hanya itu Adji juga menyoroti pengangkatan menjadi komisaris PLN melanggar prinsip GCG, penyalahgunaan kewenangan di tubuh PLN harus dihindari. (***/HS)