Saat pasar mengalami mati suri, akibat pembatasan jarak dan sosial di tengah wabah Covid-19, yang berpengaruh terhadap akitivitas bisnis dan perdagangan. Ini jelas berpengaruh terhadap pengukuran nilai wajar pada entitas bisnis.
Wartaakuntan.id—Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengeluarkan press release, dampak wabah Covid-19 terhadap penerapan PSAK 68 Pengukuran Nilai Wajar. Dimana pengukuran nilai wajar mendasarkan diri pada penentuan harga dimana transaksi dilakukan secara teratur (orderly transaction), yang terjadi antara pelakku pasar pada tanggal pengukuran. PSAK 68 mengatur hirarki pengukuran nilai wajar dilakukan dengan input informasi yang dapat diobservasi (harga kuotasian di pasar aktif) dan pengukuran dengan teknik valuasi (level 2 dan level 3). Nilai wajar diukur dengan mempertimbangkan informasi pada tanggal pelaporan dan tidak memasukkan informasi yang memuat prediksi masa depan.
Harga kuotasian (quoted price) di pasar aktif, seperti ditegaskan PSAK 68, menjadi bukti yang paling bisa diandalkan dari nilai wajar dan digunakan tanpa penyesuaian apapun untuk mengukur nilai wajar.
Jika harga kuotasian tersedia, maka tidak tepat melakukan penyesuaian atas harga kuotasian atau mengabaikan transaksi yang menghasilkan harga kuotasian. Kecuali jika transaksi tersebut ditentukan sebagai transaksi tidak teratur (not orderly).
Namun jika volume transaksi atau tingkat aktivitas perdagangan di bursa menurun secara signifikan, jelas sulit menentukan suatu transaksi bisa dikategorikan teratur atau tidak. Dengan demikian, tidak tepat, entitas menyimpulkan seluruh transaksi di pasar yang mengalami penurunan volume atau tingkat aktivitas sebagai transaksi tidak teratur. Transaksi semacam itu dianggap teratur hampir di semua situasi.
Entitas juga harus mempertimbangkan apakah suatu transaksi adalah teratur atau tidak untuk setiap transaksi pada, level instrumen per instrumen karena setiap instrumen dapat memiliki kesimpulan analisis yang berbeda sekalipun diperdagangkan di bursa yang sama dengan kecenderungan umum menurun.
PSAK 68 (paragraf PP43) memberikan contoh keadaan yang mengindikasikan transaksi tidak teratur diaman penjual sedang mengalami atau di ambang kebangkrutan atau dalam pengawasan curator. Atau penjual disyaratkan menjual secara paksa guna memenuhi persyaratan regulasi atau hukum. Bisa juga keadaan di mana harga transaksi merupakan suatu outlier dibandingkan dengan harga transaksi terkini lain untuk aset atau liabilitas yang sama atau serupa.
Secara umum, sangat tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa suatu transaksi bukanlah merupakan transaksi teratur menurut PSAK 68. Walaupun PSAK 68 (paragraf PP43) menjelaskan keadaan yang dapat mengindikasikan transaksi tidak teratur, namun secara implisit terdapat anggapan yang tidak terbantahkan bahwa transaksi yang dapat diobservasi antar pihak yang tidak berelasi adalah transaksi teratur.
PSAK 68 tidak mensyaratkan entitas untuk mengerahkan segala daya upaya yang berlebihan untuk mengumpulkan informasi dalam memutuskan apakah suatu transaksi teratur atau tidak. Apabila entitas, salah satu pihak yang melakukan transaksi, maka entitas diasumsikan memiliki informasi yang memadai untuk menentukan apakah transaksi termasuk teratur atau tidak. Sebaliknya, bila entitas bukan merupakan salah satu pihak yang melakukan transaksi, dan informasi mengenai transaksi yang terjadi di bursa tidak mencukupi, maka menjadi sulit untuk menentukan apakah harga dihasilkan dari transaksi yang teratur atau tidak.
Memahami kendala ini, maka PSAK 68 telah mencakup suatu panduan dalam paragraf PP44(c) apabila entitas tidak memiliki informasi yang memadai untuk menyimpulkan apakah suatu transaksi teratur. Paragraf PP44(c) menjelaskan bahwa entitas tidak dapat mengabaikan informasi yang dapat diobservasi pada tanggal pelaporan, namun entitas harus memberikan bobot pertimbangan yang lebih rendah untuk harga pasar yang terjadi ketika suatu transaksi dianggap tidak teratur, bila dibandingkan dengan harga pasar yang telah terjadi sebelumnya di saat transaksi tersebut dianggap teratur.
Dalam hal otoritas pemerintah telah menetapkan adanya kegentingan dan memberikan panduan model yang dikembangkan sendiri dengan dukungan informasi yang memadai, entitas dapat mempertimbangkan hal tersebut sebagai salah satu input dalam penentuan nilai wajar pada level transaksi individual.
DSAK-IAI dan otoritas pemerintah saling berkonsultasi dalam kebijakan yang berkaitan dengan pelaporan keuangan dengan mengedepankan akuntabilitas dan transparansi.
Jika entitas menyimpulkan bahwa tepat untuk menggunakan teknik valuasi untuk mengukur nilai wajar suatu aset atau liabilitas, maka entitas dapat mempertimbangkan dampak dari pandemi Covid-19 untuk menyesuaikan berbagai asumsi penilaian, termasuk suku bunga, credit spread, risiko kredit penerbit instrumen, dan sebagainya.
Terlepas dari apapun teknik valuasi yang digunakan, entitas harus mempertimbangkan penyesuaian yang diharapkan pelaku pasar akibat ketidakpastian pandemi Covid-19. Akibat risiko yang meningkat, pelaku pasar dapat mengharapkan tingkat pengembalian lebih besar sebagai kompensasi dari ketidakpastian arus kas yang melekat pada instrumen keuangan.
PSAK 68 mensyaratkan tambahan pengungkapan dalam hal entitas tidak menggunakan harga kuotasian untuk mengukur nilai wajar aset atau liabilitas yang diperdagangkan di pasar aktif. Entitas harus memperhatikan rincian informasi pengungkapan yang disyaratkan PSAK 68 agar dapat memenuhi tujuan pengungkapan, membantu pengguna laporan keuangan memahami dampak dari pengukuran yang menggunakan input Level 3 terhadap laba rugi atau penghasilan komprehensif lain pada periode pelaporan (par. 91).
Sebagai contoh, apabila entitas mengubah metode pengukuran dari yang sebelumnya menggunakan harga kuotasian di pasar aktif menjadi menggunakan teknik valuasi (Level 2 atau Level 3), entitas harus mengungkapkan alasan mengapa perubahan tersebut dilakukan (par. 93(d)).
Melihat dampak wabah Covid-19 pengaruhnya terhadap bisnis sangat besar, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan panduan untuk perbankan terkait penerapan PSAK 68 (Siaran Pers: SP 28/DHMS/OJK/IV/2020, 16 APRIL 2020 lalu.
Pertama, menunda penilaian yang mengacu pada harga pasar (mark to market), untuk Surat Utang Negara dan surat-surat berharga lain yang diterbitkan Pemerintah termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, selama 6 (enam) bulan. Selama masa penundaan, perbankan dapat menggunakan harga kuotasian tanggal 31 Maret 2020 untuk penilaian surat-surat berharga tersebut.
Kedua, menunda penilaian yang mengacu pada harga pasar (mark to market), untuk surat-surat berharga lain selama 6 (enam) bulan sepanjang perbankan meyakini kinerja penerbit (issuer) surat-surat berharga tersebut dinilai baik sesuai kriteria tertentu yang ditetapkan. Selama masa penundaan, perbankan dapat menggunakan harga kuotasian tanggal 31 Maret 2020 untuk penilaian surat-surat berharga tersebut.
Apabila kinerja issuer dinilai tidak/kurang baik, maka perbankan dapat melakukan penilaian berdasarkan model sendiri dengan menggunakan berbagai asumsi antara lain suku bunga, credit spread, risiko kredit issuer, dan sebagainya. Dari situ entitas bisnis diharapkan melakukan pengungkapan yang menjelaskan perbedaan perlakuan akuntansi yang mengacu pada panduan OJK dengan SAK sebagaimana dipersyaratkan dalam PSAK 68. (Press Release DSAK-IAI)