Wartapenilai.id—Semua pihak bebas saling mengikatkan diri, mengadakan kontrak, menentukan isi dan klausula kontrak sesuai kesekapatan bersama. Kontrak memiliki kekuatan mengikat dan berlaku sebagai aturan yang harus dijalankan dan ditaati pihak yang mengikatkan diri dengan itikad baik.
Syarat sahnya kontrak adanya kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak mengadakan kontrak, adanya obyek tertentu dari kontrak, kontrak mengandung kausa yang halal. Semua syarat harus terpenuhi tanpa kecuali dan bersifat memaksa dan tidak bisa diabaikan dengan alasan apapun.
Itu merupakan prinsip-prinsip dasar hukum kontrak, yang meliputi asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas mengikatnya kontrak, serta asas itikad baik, yang diatur Pasal 1320 jo. 1338 ayat (1) dan ayat (3) KUH Perdata.
Pihak yang tidak menjalankan kesepakatan kontrak bisa dikwalifikasi telah melakukan wanprestasi (Pasal 1243 KUH Perdata). Pihak dirugikan akibat wanprestasi dapat menggugat lawan berkontraknya, ke pengadilan atau arbitrase sesuai kesepakatan. Penggugat dapat minta agar kontrak tetap dilaksanakan, dengan atau tanpa permintaan ganti kerugian, atau, minta agar kontrak dibatalkan disertai dengan permintaan ganti kerugian dan biaya biaya. Penggugat sebagai pihak yang dirugikan berhak menetapkan sendiri tuntutannya dalam petitum gugatannya.
Hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak, saling bertimbal balik (resiprokal). Apa yang menjadi hak dari satu pihak merupakan kewajiban pihak lain untuk memenuhinya. Hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak pada umumnya sudah ditegaskan dalam bentuk klausul klausul kontrak. Menyangkut tentang bentuknya, waktunya, tempatnya, tahapannya, serta cara pembayarannya. Para pihak berkewajiban memenuhi kesepakatan kontrak dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Itikad baik atau good faith, atau, te goeder trouw, merupakan asas moral dalam hukum kontrak.
Bagi pihak kreditur, kontrak adalah kontrak, dalam keadaan apapun tetap mengikat para pihak. Kepentingan pokok kreditur adalah menuntut kontra prestasi dari debitur. Setelah kreditur memberikan prestasi kepada debitur. Dalam keadaan normal pendirian kreditur yang demikian itu sepenuhnya dapat dipahami.
Namun dalam keadaan yang tidak normal, misalnya karena terjadinya bencana, maka cara memandang persoalan menjadi berbeda. Akibat terjadinya bencana alam, misalnya banjir, gempa bumi, tsunami, badai, likuifaksi, pandemi dan sebagainya telah menyebabkan para pihak dalam kontrak, terutama debitur tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya.
Adanya halangan atau ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajibannya akibat terjadinya bencana bersifat permanen ataukah hanya bersifat temporer. Kasus per kasus harus dianalisis dan diuji secara kontekstual dan keadaan itu tidak dapat digeneralisir. Apabila halangan atau ketidakmampuan debitur memenuhi kewajibannya kepada kreditur akibat bencana alam hanya bersifat temporer, maka setelah keadaan menjadi normal kembali, maka debitur tetap berkewajiban mememenuhi kontra prestasinya.
KEBATALAN KONTRAK
Dalam setiap kontrak terkandung di dalamnya kemungkinan terjadinya kebatalan. Meskipun para pihak telah berusaha keras sedemikian rupa dalam merumuskan kontrak dengan baik dan selengkap mungkin. Kebatalan kontrak merupakan sesuatu yang dapat terjadi di kemudian hari. Hukum kontrak mengatur tentang syarat dan alasan kebatalan kontrak beserta akibat hukumnya. Terhadap suatu kontrak karena suatu sebab tertentu dapat menjadi dapat dibatalkan (vernietigbaar) atau diaanggap batal demi hukum (nietig van rechts wege). Kontrak dapat dibatalkan berdasarkan kesepakatan pembatalan yang dibuat oleh para pihak, atau, dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan karena adanya gugatan pembatalan yang diajukan oleh salah satu pihak dalam kontrak.
Apabila para pihak bersepakat melakukan negosiasi ulang (re-negosiasi) untuk membatalkan kontrak yang pernah mereka buat sebelumnya, maka kontrak dengan sendirinya menjadi batal, tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan mengikat lagi terhadap para pihak. Kesepakatan pembatalan kontrak harus memenuhi syarat syarat sahnya kontrak (pembatalan) dan berlaku sebagai undang undang bagi para pihak yang membuatnya. Sesuai doktrin pacta sunt servanda maka kontrak harus dihormati dan dijalankan dengan itikad baik.
Terhadap kontrak juga dapat diajukan gugatan pembatalan ke pengadilan oleh salah pihak apabila terdapat syarat subyektif dari sahnya kontrak yang tidak terpenuhi. Misalnya kontrak dibuat tanpa adanya kesepakatan . Atau kesepakatan yang mengandung adanya cacat kehendak (wils gebreken), karena terdapat paksaan (dwang), kesesatan (dwaling) atau penipuan (bedrog) sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 sd 1328 KUH Perdata. Hal lain yang juga dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan pembatalan kontrak yaitu terjadinya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Tentang terjadinya penyalahgunaan gunaan sebagai alasan pembatalan kontrak tidak diatur dalam KUH Perdata Indonesia. Namun sudah diterapkan dalam praktek peradilan. Berbeda dengan di Belanda, misbruik van omstandigheden telah diatur dalam Niew BWnya.
Gugatan pembatalan kontrak juga dapat didasarkan alasan bahwa pihak yang mengadakan kesepakatan terbukti tidak memiliki kecakapan dalam membuat kontrak. Ketidakcakapan dapat disebabkan karena yang bersangkutan belum dewasa (minderjarig), diletakkan di bawah pengampuan (onder curatele), atau tidak memiliki kapasitas (legal standing) untuk mewakili suatu badan hukum misalnya. Kontrak yang demikian itu akan menjadi batal setelah dinyatakan batal berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dengan perkataan lain, agar suatu kontrak dapat dibatalkan oleh pengadilan, maka harus ada inisiatif pengajuan gugatan pembatalan oleh pihak yang dirugikan dan dalil gugatan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya.
Adapun di pihak lain, suatu kontrak dapat dinyatakan batal demi hukum (nietig van rechts wege) berdasar alasan bahwa kontrak tidak memenuhi syarat obyektif sahnya kontrak, yang meliputi adanya : obyek tertentu dari perjanjian serta perjanjian harus mengandung kausa yang halal. Suatu kontrak harus memiliki obyek tertentu, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1332 sd 1334 KUH Perdata. Suatu kontrak yang melanggar undang, melanggar kesusilaan, atau melanggar ketertiban umum (openbare orde, public policy), berdasarkan ketentuan Pasal 1335 sd 1337 KUH Perdata, maka kontrak tersebut batal hukum. Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat obyektif sahnya kontrak, maka kontrak tersebut dengan sendirinya menjadi batal demi hukum (nietig van rechts wege) terhitung sejak saat dibuatnya. Namun dalam prakteknya, untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif dan menjadi batal demi hukum juga dimohonkan agar dinyatakan batal demi hukum melalui gugatan perdata ke pengadilan.
KLAUSULA FORCE MAJEUR
Dalam setiap kontrak bisnis, pada umumnya para pihak merasa perlu untuk mencantumkan adanya suatu klausula yang khusus mengatur tentang kemungkinan terjadinya kedaan memaksa, kahar, overmacht atau force majeur. Black’s Law Dictionary (7th edition, 1999) menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai “force majeure clause” sebagai : “a contractual provision allocating the risk if performance becomes impossible or impracticable as a result of an event of effect that the parties could not have anticipated or controlled”. Terjadinya keadaan demikian tidak diinginkan terjadinya oleh para pihak, karena akan membawa pengaruh dan akibat hukum terhadap pelaksanaan kontrak. Pencantuman klausula demikian dalam kontrak tetap dipandang penting sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya suatu keadaan di kemudian hari.
Keadaan memaksa, kahar, overmacht, atau force majeur diatur dalam ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Ketentuan tersebut pada pokoknya mengatur bahwa debitur dapat dibebaskan dari kewajiban dari segala biaya, rugi dan bunga dalam kaitannya dalam pelaksanaan kontrak, sepanjang debitur dapat membuktikan adanya keadaan memaksa (force majeur). Para pihak berdasarkan kesepakatan memiliki kebebasan dalam merumuskan ke dalam klausula kontraknya tentang hal apa saja dan bagaimana suatu keadaan dikwalifikasi sebagai force majeur. Tanpa adanya kesepakatan secara terperinci tentang hal hal apa sajakah yang dikwalifikasi sebagai force majeur, maka penafsirannya diserahkan kepada hakim atau arbitrator manakalah terjadi sengketa diantara para pihak.
Blacks Law Dictionary mendefinisikan pengertian “force majeur” sebagai berikut : “..an event or effect that can be neither anticipated nor controlled”. Force majeur pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam 2 pengertian, yang bersifat absolut dan bersifat relatif. Force majeur bersifat absolut artinya suatu keadaan dimana samasekali tidak mungkin (impossibility) suatu perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagaimana dalam keadaan normal. Misalnya terjadi bencana alam yang tidak tidak dapat diperkirakan sebelumnya yang menyebabkan obyek perjanjian menjadi musnah samasekali. Adapun force majeur yang bersifat relative merupakan suatu keadaan tertentu yang menyulitkan debitur untuk melaksanakan perjanjian. Kalaupun hendak tetap dilaksanakan maka debitur harus melakukan pengorbanan yang demikian besar sehingga justru menjadikan tidak praktis lagi apabila tetap dilaksanakan. Dengan demikian, mengakibatkan pelaksanaan kontrak menjadi tertunda.
Bagaimana dengan situasi aktual tentang terjadinya penyebaran pandemi COVID-19 sebagai bencana besar di berbagai negara, termasuk di Indonesia, yang sangat membahayakan kesehatan manusia, telah menimbulkan ribuan korban jiwa. Pandemi COVID-19 juga berdampak serius terhadap semua sektor kehidupan dan perekonomian. Apakah Pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai force majeur ? Saya menjawabanya, ya, oleh karena siapapun juga, termasuk para pihak dalam kontrak samasekali tidak dapat mengetahui dan memperkirakan secara pasti sebelumnya akan terjadinya pandemi COVID-19. Para pihak dalam kontrak juga tidak memiliki kontribusi dalam bentuk apapun terhadap terjadinya pandemic COVID-19. Terjadinya Pandemi COVID-19 menurut prinsip dalam hukum acara pada dasarnya sudah merupakan notoir feit yang telah diketahui bersama dan tidak tersangkalkan, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.
Apabila para pihak dalam klausul kontraknya sejak awal memasukkan terjadi wabah penyakit, endemic atau pandemic, sebagai keadaan force maejur maka hal demikian akan memudahkan para pihak maupun hakim dalam memberikan penilaian. Tidak memerlukan perdebatan yang berkepanjangan tentang penafsiran terjadinya force majeur. Sebagai contoh, klausula force majeur yang dirumuskan secara terperinci antara lain berbunyi : ”para pihak tidak bertanggungjawab atau tidak dapat dituntut untuk setiap keterlambatan atau kegagalan dalam pelaksanaan perjanjian ini yang secara langsung diakibatkan oleh sebab atau keadaan diluar kendali dan kemampuan para pihak seperti bencana alam, kebakaran, banjir, pemogokan umum, perang, pemberontakan, revolusi, makar, huru hara, terrorisme, wadah/epidemic termasuk tapi tidak terbatas pada setiap peraturan perintah atau instruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah.”
Kendatipun mungkin saja para pihak dalam kontraknya tidak memasukkan pandemic/endemic atau wabah penyakit sebagai force majeur, namun apabila melihat semakin massifnya penyebaran COVID-19 , beserta dampak yang ditumbulkannya, baik menyangkut kesehatan maupun kegiatan perekonomian terjadi force majeur telah terpenuhi. Kebijakan Pemerintah menetapkan COVID-19 sebagai keadaan bencana non alam berdasarkan Keppres No.12/2020 semakin menguatkan realitas keadaan sebagai terjadinya force majeur. Ketentuan tersebut terkait dengan Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan stablitas Sistem keuangan Untuk Penanganan COVID-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonimian Nasional dan/atau Stabilitas system Keuangan.
RENEGOSIASI KONTRAK ?
Keadaan force majeur akibat Pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap eksitensi kontrak dan pelaksanaan kontrak bisnis yang pernah dibuat sebelumnya. Pada dasarnya para pihak berdasarkan kehendak dan kesepakatan bersama dapat melakukan renegosisi kontrak. Kontrak yang sudah dibuat sebelumnya, dan tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya akibat terjadinya force majeur COVID-19, dapat dilakukan re-negosiasi dengan cara mengatur kembali hal hal apa sajakah untuk disesuaikan dengan keadaan baru. Substansi kesepakatan baru dalam renegosiasi tersebut sepenuhnya bergantung kebebasan dan kesepakatan para pihak. Kesepakatan baru hasil proses renegosiasi dituangkan dalam kontrak baru, atau, dimuat sebagai addendum, bersifat mengikat para pihak dan wajib dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila renegosiasi menghasilkan kesepakatan baru, maka hal tersebut merupakan upaya dan capaian yang terbaik. Artinya para pihak berdasarkan kehendak, kesepakatan dan itikad baik telah berhasil menyelesaikan masalah (re-negosiasi) melalui musyawarah secara damai.
Namun dalam praktek, sejatinya tidak mudah untuk membawa kesepakatan para pihak untuk melakukan renegosiasi merumuskan kontrak yang baru. Proses re-negosiasi pada umumnya akan berlangsung dengan alot. Masing masing pihak akan berusaha memanfaatkan keunggulan posisi tawarnya untuk menekan pihak lawan bernegosiasi agar bersedia menerima konsep yang ditawarkannya. Dalam keadaan demikian, justru pihak debitur yang memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan kreditur. Tanpa bermaksud untuk berprasangka buruk, namun dalam keadaan demikian itu debitur akan berusaha memanfaatkan situasi terjadinya bencana pandemi COVID-19 sebagai alasan terjadinya force majeur untuk membebaskan diri, atau setidaknya untuk menunda, pemenuhan kewajibannya kepada kreditur. Renegosiasi kontrak akan berhasil apabila para pihak mengutamakan common interest based, bukan bersikap positional based. Sikap positional based, yang berparadigma zero sum game, oleh masing masing masing pihak justru akan mempercepat kegagalan premature dalam proses renegosiasi. Kecuali apabila para pihak memiliki itikad baik dan kemauan kuat berusaha untuk melakukan negosiasi ulang berdasarkan prinsip give and take, atau, take and give, yaitu berintikan semangat untuk berbagi resiko dan berbagi tanggungjawab. Sesuai pepatah bijak bahwa “ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul”.
Apabila ternyata proses renegosiasi gagal dalam menghasilkan kesepakatan untuk memperbaharui kontrak, maka penyelesaiannya mau tidak mau akan bermuara terjadinya sengketa. Apakah akan diselesaikan melalui pengadilan ataukah melalui arbitrase. Apabila dilakukan melalui arbitrase harus terdapat kesepakatan tertulis para pihak yang dituangkan ke dalam arbitration clause atau dalam arbitration agreement. Hakim atau arbitrator melalui putusannya akan menilai alasan terjadinya keadaan force majeur dalam kaitannya dengan eksistensi kontrak dengan menetapkan hak dan kewajiban para pihak.
AKIBAT HUKUM KEADAAN FORCE MAJEUR
Perlu kiranya untuk selalu bersikap cermat dan hati hati dalam menilai apakah sesuatu keadaan sebagai force majeur. Keadaan force majeur pada dasarnya tidak dapat digeneralisasi. Melainkan harus dinilai secara kasus per kasus sesuai dengan situasi dan kondisi faktualnya masing masing. Terkecuali apabila para pihak dalam kontrak yang disepakati bersama para pihak telah menguraikan secara rinci tentang apa saja yang dikwalifikasi sebagai force mejeur, dan memasukkan terjadinya pandemic/endemic atau wabah penyakit, sehingga apabila di kemudian harus benar terjadi sebagaimana disebutkan dalam klausula tersebut, maka hal itu dianggap telah terbukti keadaan force majeur. Namun apabila para pihak dalam klausula force majeur hanya menyebutkan secara umum, atau, telah terjadi peristiwa yang samasekali berbeda dengan yang dirumuskan dalam klausula force majeur dalam kontrak, maka yang berwenang menafsirkan adalah hakim atau arbitrator. Hal-hal tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam paragraaf sebelumnya.
Ada pendapat sarjana yang berusaha untuk membedakan antara force majeur yang bersifat absolut dengan force majeur yang bersifat relative. Kalau menyangkut force majeur yang bersifat absolut, misalnya akibat bencana alam berupa banjir, tanah longsor, tsunami, badai, likuifaksi, gempa bumi dan lain lain (the act of God). Terjadinya bencana alam tersebut tidak dapat diketahui atau diperkiranya sebelumnya oleh para pihak atau oleh siapapun juga. Peristiwa peristiwa tersebut sepenuhnya merupakan perbuatan Tuhan (the act of God). Tuhan tidak mungkin dipersalahkan dan dimintakan pertanggungjawaban atas terjadinya bencana alam tersebut. Meskipun bencana alam tersebut berdampak pada eksistensi kontrak dan pelaksanaan kontrak yang telah dibuat sebelumnya. Namun demikian apabila terjadi sengketa yang terkait dengan persoalan tersebut, hakim berwenang untuk menilai dalam putusannya, apakah peristiwa tersebut masuk dalam kwalifikasi sebagai the act of God ataukah tidak. Dalam keadaan demikian terjadi ketidakmungkinan samasekali bagi debitur untuk dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Dalam keadaan demikian debitur dapat menggunakan sebagai alasan tersebut untuk minta agar dibebaskan dari kewajiban untuk melaksanakan kontrak serta membayar biaya, kerugian serta bunga sebagaimana telah disepakati dalam kontrak.
Menyangkut terjadinya Pandemi COVID-19, apakah termasuk force majeur bersifat absolut ataukah relative. Saya berpandangan bahwa, Pandemi COVID-19 termasuk sebagai force majeur yang bersifat relative. Muncul dan menyebarkan Virus COVID-19 diluar perkiraaan, kendali dan kemampuan para pihak dalam kontrak untuk dapat mengetahui sebelumnya. Meskipun persoalan ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Bukankah pada bulan Desember 2019, awal munculnya virus COVID-19 di Wuhan, China, sudah diketahui secara luas. Berdasarkan argumentasi ini, seharusnya Pemerintah Indonesia sudah dapat memperkirakan dan telah melakukan berbagai antisipasi untuk mencegah masuknya dan tersebarnya di Indonesia. Berdasarkan argumentasi ini, Indonesia dinilai telah gagal dalam mencegah masuk dan menyebarnya virus COVID-19 di Indonesia. Terdapat argumentasi yang sebaliknya, bahwa penyebaran Virus COVID-19 bukan hanya di Indonesia, tetapi di sebagian besar negara negara di dunia, termasuk di negara negara yang maju system kesehatannya, seperti di USA, Inggris, Jerman, Italy, Spanyol, Israel dan lain lain.
Terjadi bencana COVID-19, sebagai force majeur yang bersifat relative, bagaimana pengaruhnya terhadap esksistensi kontrak dan pelaksanaan kontrak bisnis yang telah dibuat sebelumnya. Bahwa terjadi bencana COVID-19 telah mengakibatkan terjadinya situasi yang sangat sulit bagi para pihak, terutama debitur, dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur sebagaimana dalam situasi normal. Terhalangnya kewajiban debitur tidak bersifat permanen, melainkan hanya bersifat sementara waktu saja, yaitu selama terjadinya wabah Pandemi COVID-19. Sebagaimana analisis para ahli kesehatan dan mikrobiologi mengatakan bahwa, Pandemi COVID-19 setelah melewati masa puncaknya, akan berakhir dengan sendirinya dan keadaan kembali menjadi normal seperti semula. Persoalannya adalah kapan berakhirnya pandemic COVID-19 tidak dapat diketahui secara pasti. Para ahli hanya memberikan analisis dan pendapat sesuai dengan keahlian dan pengalamannya masing masing.
Oleh karena terjadi force majeur akibat adanya pendemi COVID-19 tidak permanen sifatnya, melainkan hanya bersifat sementara, maka debitur tidak tidak terbebas dari kewajibannya memenuhi prestasi kepada kreditur. Debitur tetap berkewajiban memenuhi prestasinya kepada kreditur. Karena kontrak bisnis yang pernah dibuat oleh para pihak, tetap berlaku dan mengikat, serta tidak berakhir karena terjadinya force majeur akibat pandemic COVID-19. Pada suatu ketika nanti, apabila wabah Pandemi COVID-19, secara resmi oleh Pemerintah sudah dinyatakan telah berakhir, maka debitur tetap berkewajiban memenuhi prestasinya kepada kreditur.
Force majeur yang bersifat relative tersebut, apakah sama dan sebangun, ataukah memiliki perbedaan, dengan keadaan hardship, sebagaimana dikenal dalam common law system. Persoalan tersebut secara akademik dan konseptual masih perlu diperdebatkan lebih jauh. Oleh karena pada dasarnya hardship memiliki unsur unsur yang sama dengan force majeur yang bersifat relative, yaitu adanya kesulitan berat dan bersifat fundamental dari debitur untuk dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Akibat terjadinya Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan debitur mengalami kesulitan ekonomi luar biasa untuk memenuhi kewajibannya.
Saya sependapat dengan pernyataan Mahfud MD, bahwa terjadinya Pandemi COVID-19 tidak dapat dipergunakan sebagai alasan bagi debitur sebagai force majeur untuk membatalkan kontrak. Kontrak tetap sah dan mengikat para pihak. Terjadinya Pandemi COVID-19 hanya bersifat menunda pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur. Dengan perkataan lain keadaan demikian tidak menghapuskan samasekali kewajiban debitur kepada kreditur.
Apabila debitur hendak menggunakan terjadi pandemic COVID-19 sebagai alasan untuk membatalkan kontrak serta melepaskan diri samasekali dari kewajibannya terhadap kreditur, justru hal tersebut mengindikasikan debitur memiliki itikad tidak baik. Dengan perkataan lain, dalam situasi demikian, debitur berusaha mendapatkan keuntungan dari penderitaan kreditur.
Debitur dapat saja mengajukan gugatan ke pengadilan dengan meminta pembatalan kontrak dengan alasan terjadi force majeur akibat Pandemi COVID-19. Hal itu bisa saja dilakukan debitur setiap saat dia mau. Pengadilan juga tidak boleh menolak perkara yang diajukan. Pengadilan tetap berkewajiban untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara. Pengadilan akan memeriksa secara obyektif dan imparsial tentang dasar dan alasan gugatan serta bukti pendukungnya. Pengadilan melalui putusannya akan menilai secara seksama menyangkut alasan terjadinya penyebaran pandemic COVID-19 sebagai force majeur yang digunakan penggugat dalam gugatannya, serta kemudian menetapkan eksistensi kontrak maupun hak dan kewajiban para pihak. Telah terdapat berbagai buku daan artikel ilmiah yang ditulis oleh para ahli tentang force majeur. Mahkamah Agung juga telah beberapa kali menjatuhkan putusan menyangkut force majeur dalam kaitannya dengan eksistensi dan pelaksanaan kontrak. Hal itu semua dapat digunakan sebagai bahan referensinya. Terima kasih (BRW/FH UNAS/17/4/2020).
Penulis: Basuki Rekso Wibowo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional)