Kejahatan Kebijakan Membelenggu Penilai

by redaksi

SK 103 yang diteken Menteri BUMN Erick Tohir, 16 Maret 2021 lalu, jelas tidak mendukung pertumbuhan bisnis jasa penilaian di Indonesia. Hanya KJPP dan Penilai Publik terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang dianggap mampu melakukan penilaian di wilayah BUMN. Padahal banyak pekerjaan besar penyaluran kredit Bank BUMN, yang banyak dilakukan penilai publik yang tidak terdaftar di OJK juga dilakukan kalangan penilai Properti Sederhana (PS).

Wartapenilai.id—Aturan itu tersurat di diktum kesatu SK-103/MBU/03/2021, selain KJPP dan Penilai Publik mendapat izin dari Menteri Keuangan dan terdaftar aktif di Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Itu menjadi syarat KJPP dan penilai publik bisa melakukan penilaian di wilayah BUMN, sesuai SK tersebut.

Tidak hanya itu, untuk bisa bisa terlibat tender pengadaan jasa penilaian mengacu hasil tabulasi KJPP yang dibuat Deputi Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN. Tabulasi itu mengacu ke data yang link ke Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), OJK, BPK, dan Rating KJPP yang dibuat setiap perusahaan BUMN dalam tahun berjalan.

Data tabulasi yang di buat setiap perusahaan BUMN, belum tentu mencakup semua KJPP dan penilai publik yang ada. Dari penilai publik yang terdaftar di OJK ada 246 penilai publik dan yang aktif 233 penilai publik. Belum lagi yang tidak terdaftar di OJK jumlah penilai publik di tambah penilai properti sederhana lebih banyak lagi jumlahnya. Artinya, tabulasi yang dihasilkan tidak fair, hanya penilai dan KJPP yang terlibat di BUMN selama ini dan telah terdaftar di OJK saja yang masuk nominasi tabulasi.

Berlakunya SK 103 membuat para penilai yang belum atau tidak terdaftar di OJK menjadi masalah tersendiri. Semua kalangan penilai termasuk organisasi Penilai (MAPPI) memang belum membahas sampai detail, bagaimana dan seperti apa pemberlakuan aturan tersebut.

Munculnya aturan itu, jelas menciptakan kesempatan tidak berimbang bagi profesi penilai. Ada upaya membatasi area bermain, barrier to entry yang diakibatkan bukan karena kompetensi tetapi karena aturan yang diada-adakan. Kenapa harus disamakan BUMN dengan perusahaan terbuka untuk melakukan penilaian. Aturan yang mencantelkan harus terdaftar di OJK jelas menyamakan BUMN sama dengan perusahaan terbuka. Apakah benar atau tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.

Managing Partner KJPP Abdullah Fitriantoro dan Rekan, Abdullah Fitriantoro menilai aturan jelas memberatkan penilai publik yang selama ini memang tidak berminat menjadi penilai di pasar modal. “Itu masalah pilihan mereka, tetapi walau tidak terdaftar di pasar modal, selama ini mereka berpraktek di BUMN sebagai rekanan,” terang Toyo panggilan akrab-nya.

Lebih lanjut Abdullah Fitriantoro menjelaskan sebenarnya ada dua hal yang berbeda. Dimana tidak semua BUMN itu perusahaan terbuka, sehingga penilai publik cukup yang telah mendapat izin dari Kementerian Keuangan bisa berpraktik penilaian di di wilayah BUMN.

Namun demikian, Toyo melanjutkan lain hak nya dengan penilai publik yang terdaftar di OJK. Mereka berpraktik di bawah aturan OJK (sebelumnya Bapepam-LK dan Institusi Keuangan Non Bank (IKNB)). “Jadi mereka memilih untuk mendapat izin dari OJK agar bisa berpartisipasi di OJK (Pasar Modal atau IKNB),” terang Toyo.

Untuk itu, Toyo menegaskan terkait dengan penilai property sederhana, yang selama ini banyak berpraktik di bank BUMN, apakah dengan keluarnya aturan itu mengakibatkan mereka secara otomatis akan keluar menjadi rekanan perbankan BUMN. “Saya belum membaca betul. Bila demikian maka konsep utama PPPK memberikan ijin Properti Sederhana (PS) yang membantu penyaluran kredit perbankan di daerah (khususnya KPR), akan menjadi mentah lagi,” tegas Toyo.

Keberadaan Penilai Properti Sederhana—yang menggawangi cabang KJPP di daerah, sangat dibutuhkan dan membantu perbankan BUMN menyalurkan kredit menjadi lebih cepat dan tepat sasaran. Bila mengandalkan penilai publik yang terdaftar di OJK, sebagian besar berada di Jakarta, untuk di daerah selama ini penilai publik merasa tidak perlu harus terdaftar d OJK, karena memang pekerjaan penilaian di daerah tidak memerlukan terdaftar di OJK. Dan perkerjaan tersebut di daerah juga jarang yang membutuhkan lisensi dari OJK.

Aturan itu tidak memberikan kesempatan yang berimbang, bagaimana KJPP dan penilai publik dalam negeri bisa tumbuh dan berkembang maju bersama. Bukan lantaran terdaftar di OJK standar baku mutu jasanya terjamin. Bila memang di wilayah BUMN dianggap bidang yang spesifik membutuhkan perlakuan khusus, seperti penilai pertanahan, seharusnya dibuat kompartemen khusus BUMN untuk meningkatkan dan menjaga kualitas penilaian.

Disinilah perlunya Pengurus MAPPI bersama IKJPP bahu membahu, memperjuangkan agar barrier to entry semacam itu tidak terjadi di kalangan profesi penilai di Indonesia. Agar pelaku profesi penilai di berjaya, biarkan pasar pengguna jasa yang memilih, bukan regulasi yang menentukan. (Hari Suharto).

5 2 votes
Article Rating
0
FacebookTwitterPinterestLinkedinWhatsappTelegramLINEEmail

Baca Juga

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
  1. https://palembang-pos.com/
  2. https://dongengkopi.id/
  3. https://jabarqr.id/
  4. https://wartapenilai.id/
  5. https://isrymedia.id/
  6. https://onemoreindonesia.id/
  7. https://yoyic.id/
  8. https://beritaatpm.id/
  9. https://www.centre-luxembourg.com/
  10. https://jaknaker.id/