Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg-BUMN) Erick Tohir, pada 26 Maret 2021 lalu telah meneken Surat Keputusan No.103. SK itu justru menuai banyak protes dari kalangan profesi. Meski penilai public tidak seperti akuntan publik yang telah dikeluarkan list kantornya, namun menjadi ancaman serius buat penilai yang belum terdaftar di OJK—siap-siap tidak bisa melakukan penilaian di wilayah BUMN.
Wartapenilai.id—Keluarnya Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-103/MBU/03/2021, tentang Kriteria Kantor Akuntan Publik, Kantor Jasa Penilai Publik, dan Kantor Konsultan Aktuaria pada Badan Usaha Milik Negara, berbuah protes dari kalangan profesi itu sendiri. Untuk Akuntan Publik, tahun ini hanya 12 Kantor Akuntan Publik yang bisa melakukan audit di wilayah BUMN (lihat list KAP). Sedangkan penilai publik yang bisa melakukan penilaian di wilayah BUMN wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Humas MAPPI Pusat, Kemas Muhammad Ahyar, saat dikonfirmasi mengatakan di pasal itu sangat memberatkan penilai publik. Saat ini jumlah penilai publik yang terdaftar di OJK tidak sebesar jumlah penilai yang melakukan penilaian di bank BUMN. “Terkait SK tersebut, saat ini sedang dilakukan pembahasan di tingkat IKJPP dan Pengurus Pusat MAPPI, apa pengaruh SK tersebut terhadap praktik penilaian di Indonesia,” terang Kemas.
Bila SK tersebut benar-benar diterapkan di profesi penilai, khusus diwilayah perbangkan justru menghambat kinerja bank-bank BUMN itu sendiri. Sebab selama ini banyak bank BUMN yang mengandalkan penilaian yang dilakukan penilai publik yang tidak terdaftar di OJK. Termasuk penilai Properti Sedeherna (PS) yang banyak di berikan peran menilai agunan kredit, termasuk penilaian lelang.
Ketua IKJPP MAPPI, Jawa Tengah, Juniadi Amral menilai bila aturan itu diterapkan oleh Kementerian BUMN justru merugikan pengguna jasa perbankan BUMN. Sebab, dia beralasan bisnis KJPP tidak ada kelas seperti KAP (ada big four), dari130 jumlah KJPP bisa dikatakan sama kelasnya. “Kalau SK itu ini diberlakukan, jelas pengguna jasa perbankan BUMN yang memiliki layanan hingga ke daerah kinerjanya terganggu,” terang Adi panggilan akrabnya.
Lebih lanjut, Adi menjelaskan untuk terlibat penilaian ritel perbankan semua KJPP menjadi rekanan di bank BUMN. Ini tidak lepas sekitar 7 tahun lalu, pihak perbankan mendorong PPPK membuka kran memperbanyak menyebar penilai ke daerah guna membantu bank BUMN menilai agunan kredit dengan menggenjot penilai property sederhana (PS). “Sekarang ditarik, yang bisa menilai BUMN hanya penilai publik terdaftar di OJK, menjadi fatal,” terang partner KJPP Pung’s Zulkarnain & Rekan ini.
Menurut pandangan Adi kalang penilai yang tidak terdaftar di OJK memang mengalami kerugian, namun kerugian lebih besar bakal diderita bank BUMN pengucuran kreditnya teranggu. Sebab, penilaiannya di bank BUMN tidak tertangani dengan baik, dilakukan penilai dalam jumlah terbatas (yang terdaftar di OJK).
Padahal hanya sebagian penilai publik yang terdaftar di OJK, lebih banyak penilai publik belum terdaftar. Dari jumlah penilai publik itu, jumlah penilai Properti Sederhana (PS) jauh lebih besar. Artinya, bila SK tersebut diterapkan menjadi polemic tersendiri di tengah pengguna jasa penilai (khususnya bank BUMN).
Dari laporan penilaian, bank membutuhkan kecepatan penyelesaian bisa dilakukan dua tiga hari. Disinilah munculnya masalah bagi pengguna jasa, yang bisa melakukan dibatasi hanya penilai yang terdaftar di OJK jumlahnya semakin kecil. “Kalau dipaksakan di profesi penilai bukan hanya penilai yang rugi, kerugian besar justru di tanggung pengguna jasa,” tambahnya.
Jika SK tersebut di berlakukan di kalangan akuntan public tidak ada masalah. Namun ketika diterapkan di kalangan penilai kurang tepat, bisa mendatangkan polemik besar bagi pengguna jasa. Bila KJPP tidak bisa mengerjakan pekerjaan di wilayah BUMN, masih ada area bermain di bank swasta dan pemerintahan. Yang jelas penyaluran kredit di bank BUMN menjadi kacau dan hanya mengandalkan penilai internal mereka. Dan bisa kalah dengan bank swasta kinerjanya.
Kembali ke aturan Bank Indonesia, untuk menilai agunan dan lelang di perbankan, bisa dilakukan penilai publik. Itupun sekarang dibatasi 10 miliar ke atas. Dalam KJPP besar diperkirakan hanya 3 partner yang terdaftar di OJK, 16 partner lainnya belum terdaftar, dan tentunya akan menggarap pekerjaan di bank swasta. “Yang jelas akan terjadi kekacauan di bank BUMN bila aturan itu diterapkan,” tambah Adi.
Untuk terdaftar di OJK, penilai publk harus mengeluarkan energi besar, telah memenuhi syarat dan kewajiban pemenuhan 30 CPD poin. Namun, saat STTD di tangan kuenya sudah terkampling-kampling oleh KJPP besar. Bahwa ada yang sudah terdaftar di OJK tidak serta merta mendapatkan order penilaian alias sulit mendapatkan order. Apalagi syarat STTD di OJK penilai public penuh bukan penilai PS. Bila SK tersebut dipaksakan untuk penilaian di BUMN menjadi salah sasaran. (Hari Suharto)