Kontribusi profesi penilai pertanahan cukup besar mendukung percepatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti yang diatur UU. Draft Rencana Peraturan Pemerintah (RPP)yang mendampingi UU No. 2 Tahun 2012 dan UUNo. 11 Tahun 2020 sedang disusun isinya harus selaras. Jangan sampai percepatan pengadaan lahan terhambat oleh PP itu sendiri.
Wartapenilai.id—Akhir Oktober 2020 lalu, Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengeluarkan draf Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. RPP ini diarahkan untuk menjalankan UU 2 Tahun 2012 dan UU 11 Tahun 2020 Cipta Kerja (Pasal 122, 123, 124 dan 173).
Draft RPP ini memuat 7 bab dan 140 pasal. Mulai dari ketentuan umum, ruang lingkup, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (terdiri sembilan bagian dan 129 pasal), pengadaan tanah untuk kemudahan proyek strategis nasional (terdiri 4 pasal), ketentuan peralihan (satu pasal), ketentuan penutup (dua pasal).
Terbitnya UU Cipta Kerja, memberikan peran baru bagi penilai pertanahan selain menentukan nilai ganti rugi, yaitu terlibat di perencanaan dan mendampingi ketua pelaksana pengadaan tanah saat proses musyawarah dengan masyarakat. Tentunya peran baru itu jelas menambah pundi-pundi bagi penilai pertanahan.
Memang di RPP ini masih banyak yang perlu disemuprnakan dan sosialisasikan ke profesi penilai. Menurut Rencana Senen 7 Desember 2020, antara profesi penilai dengan tim penyusun RPP, praktisi, akademisi yang akan mengadakan sosialisasi melalui webinar. Webinar itu untuk menjaring masukan guna menyempurnakan RPP itu.
Ketua KPSPI, Hamid Yusuf saat diminta komentar terkait terbitnya RPP itu mengatakan ada beberapa isu yang membutuhkan sinkronisasi. Seperti terkait definisi penilai pertanahan, di UU No. 2 tahun 2012 dan UU Cipta Kerja disebutkan dengan jelas. Namun di RPP mengalami perubahan definisi. Ini bila tidak diubah sesuai dengan UU yang lebih tinggi bisa menimbulkan masalah. “Ini bisa membuat bingung dalam aplikasinya dilapangan, mana yang akan diikuti UU atau PP nantinya,” terang Hamid Jusuf.
Lebih lanjut Hamid, menegaskan dalam RPP tidak boleh menerjemahkan menjadi lain pengertian penilaian pertanahan. Penyusun RPP tidak boleh mendefinisikan lagi penilai publik. Ini tidak konsisten dan memang tidak boleh PP itu mengalahkan aturan yang lebih tinggi. “Seharusnya dibiarkan saja, bila ada hal yang belum bisa jalan RPP mencoba menyesuaikan dan menjelaskan,” tegas Hamid.
Selain masalah definisi penilai publik, Hamid juga menyoroti masalah lain di pasal 34 UU Cipta Kerja. Dimana penilai di tegaskan mendampingi ketua pelaksana pengadaan tanah dalam proses musyawarah. Di UU Cipta Kerja ini ditegaskan musyawarah yang dimaksud terkait dengan bentuk ganti kerugian.
Sebelumnya, Hamid mengakui terjadi dualisme (musyawarah bisa bentuk atau nilai), jika yang dimaksud nilai berarti hasil penilaian bisa dimusyawarahkan. Namun di UU Cipta Kerja cukup jelas, yang dimusyawarahkan bentuk ganti ruginya. Dengan begitu penilai saat mendampingi musyawarah hanya menjelaskan apa yang dikerjakan. Dengan begitu penilai harus mendapat perlindungan dan jangan dijadikan bamber permasalahan yang muncul, cukup menjelaskan sekup pekerjaannya. “Penilai harus dilindungi, bukan dijadikan bamber atas masalah yang muncul atau menjadi bulanan bulanan masalah itu,” terang Hamid.
Lebih lanjut Hamid juga khawatir bila yang terjadi bentuk penggantian bukan berupa nilai ganti rugi tetapi bentuk rumah tanah di lokasi lain. Bila pemilik lahan tidak mau terima ganti rugi, namun minta penggantian rumah tanah di lokasi lain. Bagaimana konversi nilai ganti rugi itu menjadi nilai rumah dan tanah di lokasi lain. Siapa yang menentukan nilai rumah yang dipilih pemilik lahan terdampak. Memang bentuk ganti ke lokasi lain berlaku untuk tanah wakaf selama ini. Namun bila satu pembebasan ada 100 orang terdampak minta seperti itu bagaimana, terang Hamid sangat khawatir itu terjadi.
Makanya RPP ini harus jelas, dimana UU Cipta Kerja mengatur dengan jelas musyawarah yang dimaksud adalah bentuk ganti rugi. Untuk itu mekanismenya harus jelas. Dan diperencaan pengadaan tanah diawal harus sudah diputuskan bentuk ganti rugi berupa uang, atau penggantian rumah tanah ke lokasi lain. “Seharusnya bentuk ganti rugi harus clear di perencanaan, bukan muncul diujung,” terang Hamid lagi.
Untuk itu, Hamid berharap dalam RPP masalah-masalah seperti itu bisa clear mekanisme. Bila tidak UU Cipta Kerja yang diarahkan untuk mempercepat mempermudah pengadaan tanah tidak terpenuhi. Namun justru menimbulkan masalah baru yang mempersulit, bukan agi mempercepat pembangunan. “Itu bagian yang mengganjal di draft RPP ini yang menganjal.
Terkait dengan Webinar senen depan, diharapkan ada banyak masukan baik dari praktisi, akademisi, profesi dan regulator untuk menyempurnakan RPP tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Juga menyempurnakan SPI 204 yang harus disesuaikan degan kondisi kekinian, agar memudahkan anggota menjalani praktik penilaian pertanahan di Indonesia. (Hari Suharto)
Berikan Komentar