Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 40 tahun 2019, tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, yang mengatur nilai agunan sampai Rp 10 miliar penilaiannya dilakukan Penilai Internal Bank (PIB) mengandung risiko. PIB secara kualitas dan kuantitas dinilai belum mencukupi dan minimnya kompetensi pengawasan PIB yang dilakukan OJK.
WartaPenilai.id—Pendidikan dan sertifikasi penilai di lingkungan Penilai Internal Bank (PIB), selama ini belum menjadi suatu kewajiban (mandatory). PIB mengikuti pendidikan dan sertifikasi, hanya untuk memenuhi kebutuhan internal, belum ada regulasi yang mewajibkan mereka mengikuti pendidikan dan sertifikasi.
Apakah dengan keluarnya POJK itu, regulator bakal mewajibkan pendidikan dan sertifikasi bagi PIB. Seperti pasal 47 ayat (1) huruf b (POJK 40/2019) menerangkan penilaian agunan sampai batas Rp 10 miliar dilakukan oleh Penilai Internal Bank (PIB). Dalam penjelasan diterangkan dalam melakukan penilaian agunan PIB mengacu pada standar penilaian yang digunakan oleh penilai independen.
Nilai agunan sampai Rp 10 miliar, memang terlihat tidak terlalu besar, namun bila satu penilai melakukan penilaian 100 agunan, nilainya sangat material.
Ambang batas nilai agunan yang membutuhkan penilaian mengalami kenaikan dua kali lipat. Sebelumnya, Bank Indonesia menetapkan nilai agunan sampai Rp 5 miliar dilakukan penilai internal bank, sekarang melalui POJK No. 40 Tahun 2019 berubah menjadi Rp 10 miliar.
Profesi penilai melihat, dengan adanya kenaikan ambang batas nilai agunan, adanya peningkatan risiko yang diberlakukan yang harus di tanggung perbankan. Agunan yang dinilai sebenarnya menjadi bagian dari kebijakan internal bank dalam merencanakan bisnis yang baik dan penilaian jaminan risiko.
Permasalahannya muncul manakala PIB dalam melakukan penilaian mengacu KEPI dan SPI. Timbul pertanyaan sudah sampai ditingkat dimana kompetensi penilaian yang dimiliki PIB, sertifikasi yang ditempuh, lalu seberapa jauh PIB menerapkan KEPI dan SPI di praktik penilaian internal bank selama ini.
Melihat pengembangan PIB di Indonesia, selama ini, yang menjadi bagian dari anggota MAPPI, juga belum memiliki kompartemen sendiri untuk pengembangan kompetensi yang dibutuhkan. Disini jelas PIB membutuhkan upgrade kompetensi penilaian melalui pendidikan maupun sertifikasi untuk menjalankan praktik penilaian agunan sesuai KEPI dan SPI, yang ditegaskan regulasi itu.
Sejatinya dalam penilaian bukan masalah batas sampai dengan Rp 10 miliar bisa dilakukan penilaian internal bank. Namun, seberapa jauh penilaian yang dilakukan itu mampu meminimalisasi risiko pemberian kredit. Bagaimana bila terjadi kesalahan dan melanggar KEPI dan SPI, atau terjadi konflik of interest, siapa yang harus bertanggung jawab.
Dilihat dari praktiknya, PIB bukanlah penilai independen, namun praktinya POJK No. 40 mengharuskan PIB menggunakan standar penilaian yang digunakan oleh penilai independen. Pertanyaanya apa mungkin PIB menerapkan KEPI dan SPI dalam menjalankan tugasnya. Selama ini mereka lebih banyak menerapkan aturan seusai rasio-rasio yang ditetapkan secara internal. Atau KEPI dan SPI hanya bagian tertentu saja yang diterapkan untuk penilaian internal bank.
Untuk menjadi penilai, sebagaimana diatur PMK No. 228 Tahun 2019, seseorang harus menjalani pendidikan dan lulus sertifikasi profesi yang dikeluarkan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Namun, untuk penilai internal bank selama ini belum menjadi sesuatu yang diwajibkan (mandatory), sebatas sukarela (voluntary). Lalu PIB yang telah menyandang penilai bersertifikat, apakah telah memiliki kewajiban memenuhi SKP tertentu untuk menjaga kompetensi yang dimiliki. Tidak ada regulasi yang mengatur akan hal itu selama ini. Semua dilakukan secara sukarela.
Pertanyaan berikutnya, apakah PIB yang dimiliki perbankan sudah mencukupi baik secara kualitas maupun kuantita. Lalu regulator mana yang berkewajiban melakukan pengawasan terhadap PIB. Sebab, dalam menjalankan penilaian, PIB mengacu standar Penilaian yang digunakan penilai ekternal (anggota MAPPI).
Penilaian nilai agunan sejatinya tidak mendasarkan pada batasan minimal agunan di bawah kebijakan regulator, semua karena pemberi pinjaman (perbankan) harus mendapatkan evaluasi sepenuhnya untuk memahami risiko agunan dari pemberian pinjaman.
Dengan menerapkan KEPI dan SPI, sebenarnya sebagai standar kontrol kualitas bagi penilai real property, personal properti, dan penilai bisnis. Penilai dengan menerapkan standar itu memiliki kerangka evaluasi mengingat perubahan makro mikro yang terjadi membutuhkan pertimbangan dalam lingkup pekerjaan penilaian dengan jumlah risiko yang terlibat dalam transaksi.
Penilai memang tidak bisa mengabaikan fakta saat melakukan pekerjaan harus memenuhi kompetensi dalam banyak kasus. Namun disisi lain menimbulkan beberapa kerugian kompetitif terhadap penyedia layanan penilaian lainnya, yang tidak menenuhi standar penilaian minimum atau persyaratan lisensi minimum. Penyedia jasa penilaian tidak harus bersaing dengan aturan seperti itu yang menyulitkan penilai untuk bersaing dengan penyedia jasa penilaian lainnya.
Apakah memakai PIB atau penilaian ekternal, ketika melibatkan penilai, pemberi pinjaman harus mendasarkan diri pada pemenuhan kompetensi. Isu kompetensi dan kompleksitas penugasan penilaian, harus menjadi faktor utama bagi semua pihak saat mempekerjakan penilai. Penunjukan profesional penilaian sedianya mengacu pada kompetensi dan pengalaman penilaian. dan penilai terlibat menjadi anggota organisasi penilaian profesional yang diakui dan mengiktui pendidikan berkelanjutan di profesi penilai.
Minim Kompetensi
Selain PIB membutuhkan upgrade kompetensi, PJOK No. 40 Tahun 2019, juga pembina dan pengawas penilai internal bank yang mumpuni. Pengawas yang memahami lingkup pekerjaan dan seluk belum penilaian serta memahami KEPI dan SPI.
Ketua Komite Penyusunan Standar Penilaian Indonesia (KPSPI), Hamid Yusuf, sangat mengkhawatirkan penilai internal bank (PIB) diberikan peran besar, namun belum diikuti pengawasan yang memadai dari Ototitas Jasa Keuangan (OJK). Dia mengakui selama ini, terkait pekerjaan penilaian, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan regulator sangat minim. Seperti terjadi di pemeriksaan pengadaan tanah, Perbankan, OJK, Aparat Penegak Hukum, BPKP, BPK minim ilmu dan kompetensi bidang penilaian properti, personal dan bisnis. Ini memang yang menjadi masalah bagaimana pemeriksan OJK bisa memenuhi kompetensi bidang penilaian.
Sebagai pemeriksa PIB, sedianya memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap standar profesi yang terlibat di OJK. Bagaimana melakukan review pekerjaan penilaian kalau tidak memahami cara kerja dan standar profesi. Pengawasan PIB memang terlihat masih minim kompetensi untuk melakukan pemeriksaan terhadap PIB. Bila PIB melakukan pelanggaran terhadap KEPI dan SPI atau bagaimana memastikan PIB mengikuti standar itu.
Sebagai Pembina dan pengawas PIB, seharusnya OJK mampu memastikan intensitas pengawasan terhadap PIB. Jangan sampai dengan diberinya peran besar pada PIB, justru terjadi kasus NPL bermunculan seperti di bank-bank yang sudah dibeukan. Kenaikan ambang batas dari Rp 5 miliar menjadi Rp 10 miliar sangat material jika penugasan PIB mencapai 100 agunan. POJK itu memberikan tanggung jawab besar pada PIB.
Terlihat disinilah terjadi kekosongan peran yang harus dimainkan dan diperkuat baik regulator terkait, regulator profesi dan asosiasi profesi penilai.
Sedianya semua pihak itu, bisa berkolaborasi dan bersinergi untuk membuat pengaturan, pengawasan yang fair terhadap PIB yang diberikan peran besar. Baik Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), Otoritas Jasa Keuanngan (OJK), Persatuan Penilai Internal Bank (PIB) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), dalam waktu dekat sedianya duduk bareng mendiskusikan persoalan itu.
Semua itu, agar dikemudian hari tidak menjadi masalah yang berlarut tanpa ujung. Karena POJK No. 40 Tahun 2019 jelas mengatur PIB dalam melakukan pekerjaannya mengacu pada KEPI dan SPI. (HS)